MIMPI BESAR DARI ORANG KECIL "kisah inspiratif "
Senja telah beranjak, menyisihkan hamparan gulita tak berjejak.
Membawaku tenggelam dalam lamunan, menjamuku
dengan memori-memori lama, tentang hidup
yang penuh perjuangan, harapan dan impian besar. Sesekali aku tergelitik menoleh masa-masa lama, meski selebihnya tentang luka yang menganga. namun perlahan luka itu tak lagi ada, sebab
dasyatnya kekuatan doa.
Hai, namaku Tias puji pertiwi. Teman-teman kerap menyapaku dengan sebutan Tias. Aku lahir
di bulan juli tahun 2001. Aku anak terakhir dari dua bersaudara. Ayahku bekerja
sebagai petani sekaligus kuli batu. Ayahku adalah sosok manusia yang tidak
banyak bicara, pekerja keras dan sederhana. Sedangkan ibuku adalah manusia
paling tegar, sabar, dan penyayang. Kedua orang tuaku tak pernah berhenti
mengingatkanku perihal sholat tepat waktu. Mereka selalu mengajariku tentang kedisiplinan,
tanggung jawab, dan hidup sederhana.
Selama 21 tahun hidup didunia, Tuhan kerap
kali mengajakku becanda. Kisah ini bermula pada tahun 2013, tahun dimana aku dinyatakan
lulus dari sekolah dasar. Pada tahun itu, aku memutuskan untuk meninggalkan
ayah ibuku demi menggapai asa melalui pesantren. Aku sama sekali tidak memiliki
teman dari kampung ataupun dari sekolah lamaku di pesantren. Kebanyakan temanku
memilih untuk melanjutkan pendidikan di SMP Negeri. Banyak sekali tetangga yang
mengatakan bahwa aku tidak lolos seleksi disekolah negeri, sehingga aku memilih
sekolah swasta untuk menyambung pendidikkanku. Aku hanya tersenyum mendengar
perkataan-perkataan itu. Aku memilih pesantren bukan karena aku tidak diterima
sekolah negeri, melainkan memang sudah menjadi impian lamaku.
Lalu lalang pergantian siang dan malam, semakin
membawaku merasa betah dipesantren. Perlahan aku mulai memiliki banyak teman.
Aku mencoba aktif di setiap kegiatan sekolah, aku semakin giat untuk belajar.
Hingga namaku kerap dipanggil setiap kali pengumuman rangking 3 besar. Selalu
kupandangi orang tuaku tersenyum mendengar panggilan itu. Namun berbeda
tetangga sekitar rumahku. Mereka kerap mencari celah untuk mematahkan senyum
yang perlahan kuukir di bibir orang tuaku. Mereka selalu mencela dan menganggap
bahwa sekolah swasta dipesantren adalah tempat orang-orang bodoh yang tidak
lolos seleksi negeri. Ujaran-ujaran itu sampai pada telingaku, namun aku terus
bersemangat meski sesekali hatiku terasa sesak.
Hari-hari kulalui dengan teman-temanku,
sekolah, mengaji, sholat berjamaah, bergurau, hingga sesekali melirik kang
santri hehe. Tepat ditahun ketiga adalah puncak kesedihanku. 29 juli 2015 tepat
dihari ulang tahunku, aku mendapat panggilan dari TU saat jam diniyahku.
Kudatangi sumber suara itu, dan kudapati seorang laki-laki yang sedang
berbincang dengan guru BK. laki-laki itu adalah kakakku. Ia datang membawa
kabar duka, ia mengatakan bahwa ayah sedang sakit parah. Beliau mengidam
penyakit paru-paru basah. Saat itu pula, bertepatan pada masa karantina santri
baru, dimana perizinan untuk pulang ataupun keluar tidak lagi diperbolehkan. Aku
memaksakan diri untuk tetap keluar menuju rumah sakit demi melihat keadaan
ayahku. Sesampainya disana, mataku tertuju pada ibuku yang duduk disamping
ranjang dengan wajah kusam dan pandangan kosong tidak seperti biasanya. Aku tak
kuasa menahan tangis ketika kulihat ayahku tak berdaya berbaring diranjang
rumah sakit itu. Namun, aku tak punya waktu lama, dan harus kembali ke
pesantren, meski kenyataannya hatiku diselimuti perasaan tidak rela.
Terlalu berlarut-larut dalam kesedihan
bukanlah pilihan yang baik dalam hidup. Aku mencoba untuk menenangkan diriku
meskipun sesekali masih terlintas raut wajah ayahku yang menahan sakit.
Beberapa hari setelah itu, aku mendapatkan kabar baik, ayahku sudah boleh untuk
dirawat jalan. Sebulan setelah kabar itu, aku didaftarkan mengikuti seleksi
lomba pidato bahasa Inggris oleh guruku. Berhari-hari, aku terus berdoa dan
berusaha membaca-baca teks pidato yang akan kutampilkan, hingga aku terpilih
menjadi salah satu siswa perwakilan sekolah yang akan dilombakan. pada saat itu,
aku dan 6 temanku diantarkan oleh guru ke tempat perlombaan. Sesampainya disana
aku mengambil nomor urut. Aku
mendapatkan urutan ke tiga untuk menampilkan pidato. Dengan penuh
semangat aku menaiki panggung dan dengan lantang menampilkan hasil latihanku,
hingga pada waktu pengumuman, aku dan salah seorang temanku dinyatakan lolos menuju
babak final. Aku mengikuti tahapan selanjutnya hingga berhasil meraih juara
tingkat kabupaten.
Tepat dihari perpisahanku, aku ditunjuk untuk
menampilkan ulang pidatoku didepan ribuan wali murid. Selang beberapa waktu,
namaku dipanggil saat pengumuman siswa berprestasi. Aku bergegas menemui
panggilan itu. Sesampainya diatas panggung, aku diberikan sebuah piala dan
selembar sertifikat juara oleh kepala sekolahku. Diatas panggung mataku tertuju
pada lemparan senyum dan tepuk tangan dari ibukku di tempat duduk nomor tiga
dari belakang. Beranjak dari panggung, aku menyerahkan piala itu ke ibuku
sebagai tanda terimakasih karena selalu mendukung pilihanku.
Genap tiga tahun aku berada dipesantren dan
berhasil menyelesaikan pendidikan SMPku. Dengan perasaan berbunga-bunga, aku
menelfon ibuku melalui ponsel jadul milik pesantren, sembari ingin menanyakan
kelanjutan sekolahku. Namun lagi-lagi Tuhan suka becanda, aku mendapati kabar
tidak baik. Aku diminta untuk pulang dan tidak lagi melanjutkan sekolah SMA
sekaligus mondok dipesantrenku. Aku mencoba mengutarakan perasaan tidak enakku,
aku menolak keputusan ibu untuk tidak lagi sekolah. Pikiranku terus mengatakan bahwa mondok 3 tahun belumlah
mendapatkan ilmu apa-apa. Namun ibu tetap tidak mengizinkanku. Ibu tidak lagi
sanggup membiayai sekolah dan mondokku. Setelah ayah jatuh sakit, ekonomi
keluargaku tidak sedang baik-baik saja. Ayahku tak lagi sanggup untuk bekerja,
dan kakak yang kujadikan sebagai
satu-satunya harapan pada saat itu, justru dipecat dari tempat ia bekerja. aku
sangat terpukul melihat kenyataan itu, hatiku sesak, dan aku tidak bisa
menerimanya. Hingga berulang kali aku katakan ke ibu perihal keinginanku untuk
sekolah, namun ibu tidak merespon banyak, beliau sudah membulatkan
keputusannya.
Aku semakin terpukul, hingga aku memberanikan
diri untuk mengatakan masalahku pada ning (putri kyaiku). Beliau
menyarankan aku untuk mondok saja dan ikut mengabdi di ndalem. Mondok tanpa sekolah dilingkungan pesantren yang ada sekolahnya,
tentu menjadi tantangan berat dalam hidupku. Terlebih ketika aku melihat teman
seangkatan yang tertawa-tawa mengikuti rangkaian kegiatan MOS, sedangkan aku
hanya bisa melihat keceriaan mereka sembari membantu mbak-mbak ndalem menyiapkan
seragam baru untuk mereka. tentu hal itu sangat menyakitkan. Secara tidak sadar
airmataku terus saja berjatuhan seakan menjadi ungkapan dari kepedihanku.
Lagi-lagi aku memberanikan diri untuk menceritakan kepedihan dan tekadku untuk
kembali bersekolah. Hingga suatu ketika, ning menawarkan kepada saya
untuk kembali bersekolah. Tepat pada saat itu, aku sangat yakin bahwa Tuhan
sangat baik sehingga mengirimkan orang-orang baik dalam hidupku.
Bahagia, sedih, dan kecewa sudah menjadi makanan
sehari-hariku. Aku menerima tawaran itu, dan ibuku menyetujuinya. Akhirnya aku
bisa kembali mengenyam pendidikan meskipun telat 2 minggu dari teman-temanku.
Aku bersekolah sembari memenuhi tanggunganku sebagai santri ndalem. Aku
tidak lagi bisa bermain-main seperti teman-temanku. Setiap pagi sehabis subuh,
aku memiliki tanggungan membungkus sarapan untuk dijual sampai pukul 05.30 wib.
setelahnya, aku harus bersih-bersih ndalem (rumah kyaiku) hingga pukul
06.30, aku baru bisa bersiap-siap untuk sekolah. Sepulang sekolahpun aku harus
menjaga kantin. Untuk menyempatkan makan siangpun aku harus bisa mencari waktu
sendiri. Setelah itu aku mengikuti jam diniyah sampai pukul 15.30 wib.
Belum selesai itu saja, setelah diniyah aku tetap harus kembali bersih-bersih
rumah kyaiku. Aku baru bisa beristirahat pada pukul 22.00 wib setelah semua
kegiatan selesai.
Hari-hari ku lalui, hidupku terus berputar seperti itu. Seringkali aku merasa
capek, namun ini semua pilihanku. Saat pembagian raport lagi-lagi aku berhasil
menarik kedua sudut senyum dari bibir ibuku. Aku masuk ringking 3 besar, baik
sekolah maupun diniyahku. Saat duduk dibangku kelas X, aku diamanahi
menjadi wakil ketua OSIS. Kelas XI pun begitu, aku didelegasikan menjadi
kandidat ketua OSIS. Setelah melalui berbagai tahapan dengan jangka waktu yang
cukup panjang, hasil akhirnya aku terpilih menjadi ketua OSIS pada periode
2017-2018. Penobatan ini tentunya merupakan tantangan besar dalam hidupku. Aku harus
memutar otak untuk membagi waktu antara prioritas sekolah, abdi ndalem,
dan juga organisasi. Saat itu aku meminta pada Tuhan untuk tidak lagi
mengangkat bebanku, melainkan kuatkan saja pundakku.
Lambat laun, tibalah aku dan teman-teman
berada pada titik puncak, yaitu kenaikan kelas XII. Kegiatan yang harus
kulakukan tentunya semakin banyak, sebab di kelas XII aku banyak disibukkan
dengan tryout, ujian lisan, ataupun kelas-kelas tambahan. Waktu itu sekolahku
didatangi 3 pihak perguruan tinggi negeri untuk menawarkan masuk kampus jalur
beasiswa pesantren. Terdapat 2 beasiswa yang ditawarkan, yaitu melalui beasiswa
penghafal al quran (tahfidz) dan beasiswa baca kitab kuning. Aku sangat tertarik
dengan salah satu tawaran itu. Setiap harinya aku belajar baca fathul qorib
dengan sangat giat. Aku bersikeras untuk meraih beasiswa baca kitab tersebut,
terlebih setelah Kyaiku berkata; “siapapun santriku yang bisa lolos seleksi
beasiswa baca kitab, akan saya antar sampai di kampus tujuan”. Tentu saja
ucapan itu menambah semangat belajarku. Tepat pukul 03.00 aku selalu bangun,
aku menyempatkan sholat tahajud dan istiqomah belajar baca kitab setiap
harinya. Kalau ditanya capek, jelas iya. Tapi demi sebuah asa, rasa capek itu
lama-lama menjadi biasa.
Namun, tahun ini tak seperti biasanya, tepat 2
minggu sebelum ujian nasional dilaksanakan, tiba-tiba semua sekolah diliburkan.
Seluruh santri juga dipulangkan. Sejak saat itu pupus sudah harapanku. Aku
gagal memperjuangkan beasiswa baca kitab itu. Sebab belum sempat mengikuti
seleksi, semua santri sudah dipulangkan. Seluruh dunia terserang virus corona
yang mematikan, yang berhasil membawa berbagai perubahan. Tahun ini adalah
tahun terakhir aku duduk dibangku sekolah. Seusai ini, akan ada banyak sekali
pilihan-pilihan hidup selanjutnya. Tak bisa dipungkiri, ada banyak sekali hal
yang bisa ditukar dengan finansial termasuk pekerjaan. Namun sampai saat ini
aku yakin, bahwa Tuhan maha baik. Ia akan memberikan jalan terbaik bagi
hambanya yang terus berusaha. Seusai kegagalanku, beberapa hari aku sempat
terpuruk. Namun jika aku tidak bangkit, aku akan menyia-nyiakan kesempatan lain
yang menghampiriku.
Aku katakan dan aku yakinkan pada diriku,
bahwa 2020 aku akan lolos PTN dengan tanpa biaya apapun. Hidup adalah
tantangan, tak jarang orang-orang disekelilingku mematahkan semangatku,
mencaci, dan memberi keyakinan negatif atas cita-citaku. Namun aku tidak
menyerah, aku menyemangati diriku sendiri. Aku didaftarkan SBMPTN (Seleksi
Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri) oleh guruku. Berbekal keyakinan, doa yang
kuat, dan terus berusaha belajar aku terus yakin bisa lolos PTN. Aku terus berusaha
keras, karena kuliah jalur mandiri tentu akan sangat memberatkan orang tuaku.
Mereka tidak akan sanggup. Aku tidak lagi mau memupuk luka dalam hidup mereka.
Setiap hari aku terus meyakinkan diriku dan terus belajar melalui grup whatsapp
pejuang PTN, dan melalui youtube secara otodidak. selang beberapa hari setelah
pelaksanaan utbk, Tuhan lagi-lagi mengabulkan doaku, aku mendapatkan tulisan
selamat dari website pengumuman SBMPTN. Aku berkesempatan melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi lagi. Aku diterima di Universitas impianku. Tangis
haru dari ibu semakin memecah suasana tepat pada sore itu. Seketika aku
bersujud sembari berbisik terimakasih kepada Tuhan, atas diwujudkannya mimpi
besar dari orang kecil sepertiku”.
Komentar
Posting Komentar