Sistem pendidikan pesantren dan eksistensi Kyai sebagai pengasuh di dalamnya (Perspektif teori budaya Durkheim)

tiaspuji_

Pesantren merupakan lembaga tertua di Indonesia yang memiliki keunikan dalam sistem pembinaan dan pembelajarannya. Transformasi ilmu didalamnya, kebanyakan masih menggunakan sistem tradisional pada masa klasik, dan hal itu hampir terjadi di seluruh pesantren. Dalam perjalanannya, tentu saja tidak luput dari berbagai tantangan dan hambatan. Salah satunya yakni  problem berupa kurang setujunya  beberapa masyarakat dengan struktur didalam pesantren, dan  metodologis pengajaran yang sampai sekarang masih belum terselesaikan. secara pelan dan pasti, pesantren terus bertahan dan mencoba menyesuaikan dengan perubahan.  Banyak sekali anggapan bahwasanya pendidikan dalam lingkup pesantren adalah pendidikan yang ketinggalan zaman.

Pesantren adalah miniatur dari kehidupan, untuk itu dalam pesantren sendiri terdapat sistem dan aturan-aturan sebagaimana masyarakat yang di atur oleh negara. Beberapa pihak luar ada yang menyetujui dan ada pula yang kurang setuju dengan berdirinya pesantren-pesantren dilingkungan masyarakat. Adapun keterkaitan pesantren dan pendidikan didalamnya dengan teori budaya menurut perspektif Durkheim yang di tandai dengan empat elemen diantaranya; the sacred (sakralitas), classification (klasifikasi), rites/ritus dan solidarity (solidaritas), adalah sebagai berikut;

  • The Sacred (Sakralitas)

Eksistensi Kyai dalam pesantren merupakan the sacred. Artinya kyai sendiri adalah seseorang yang dianggap sakral. Sebab keberadaannya, diidentifikasikan oleh santri sebagai figur yang penuh kharisma, serta sebagai inloco parentis atau  pengganti orang tua. Kyai merupakan model uswah atau suri tauladan dari sikap maupun tingkah laku  santri. Adapun santri-santri. mengimitasi sikap maupun perilaku kyai melalui proses interaksi dan sosialisasi secara langsung yang terjadi dalam proses pendidikan di suatu pesantren. Santri pula mengidentifikasikan kyai sebagai figur ideal yaitu penyambung selisih keilmuan auliya’ pewaris keilmuan-keilmuan  pada kejayaan islam di masa lalu. Dengan adanya  pengidentifikasian sedemikian rupa, mampu menciptakan ketaatan serta kepatuhan santri pada Kyai.  

Sama halnya dalam suatu susunan masyarakat, dimana terdapat kelas dominan atau yang disebut dengan kelompok elite yang mengatur kelompok dibawahnya, begitu pula dengan kyai. Kyai di anggap sebagai suatu kelompok elite oleh komunitas tertentu. hal ini dipertegas oleh perkataan Kuntowijoyo bahwasanya kyai merupakan elite desa yang bertugas dalam penanganan ritual keagamaan. Selain dipatuhi dan dianut santri, kyai pula dipatuhi langsung oleh masyarakat yang lebih luas. Selain itu dipercaya pula sebagai tokoh pewaris para nabi dan tokoh yang melanjutkan silsilah ulama’ terdahulu.

  • Classification (Klasifikasi)

Adapun pengelompokan kelas atau klasifikasi jaringan hierarki pada kekuasaan di lingkungan pendidikan pesantren, yakni pertama, kyai berkedudukan pada kelas tertinggi sebagai penentu kebijakan, kemudian ahlul bait (keluarga) dan kerabat kyai menempati urutan kedua, sebagai pemengaruh kebijakan.kyai, Setelahnya ada kelompok ustadz dan ustadzah yang bertugas sebagai pengarah teknis, dan lapisan terendah sesudahnya adalah santri, yaitu sebagai pelaksana dari kebijakan tersebut. Kyai memiliki power untuk memberi hukuman ataupun ganjaran bagi lapisan terendah (santri) jika tidak ataupun patuh pada kebijakan yang ditetapkan.

Dalam hal ini ditegaskan bahwasanya kyai dan santri adalah sama-sama manusia. Namun yang membedakan adalah kedudukan mereka yang ditandai dengan perbedaan perlakuan orang-orang dalam menyikapi keduanya, yakni perlakuan lebih hormat pada kyai karena anggapan bahwasanya kyai memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding santri dan masyarakat, dan kyai di anggap memiliki power seperti yang disebutkan. Adapun anggapan atau kepercayaan inilah yang dikatakan sebagai suatu bentuk kesakralan dari eksistensi kyai, dan kehidupan individu-individu dari  santri  ataupun masyarakat yang patuh pada kyai tersebut adalah yang disebut dengan profan.

  • Rites / Ritus

Wujud ritus dalam pendidikan pesantren dimana kyai disebut sebagai sesuatu yang sakral yakni dengan kepatuhan santri pada kyai itu sendiri. Hal ini diwujudkan dengan menjalankan segala kebijakan pembelajaran yang telah diatur oleh kyai, disampaikan melalui perantara ustadz-ustadzah, yaitu dengan melakukan segala perintah dan meninggalkan hal yang menjadi larangan. Adapun kebijakan dalam sistem pendidikan pesantren ini berupa kewajiban, mengikuti seluruh kegiatan baik mulai metode soroghan kitab kuning yang dimasukkan dalam kategori (individual learning process), pembelajaran dengan metode bandongan (collective learning process)yakni metode layanan belajar kolektif , qiyamul lail, mendalami ilmu nahwu dan shorof,  mengikuti kelas madrasah diniyah secara bertahap dari terendah sampai kelas tertinggi, dsb. Selain itu, implementasi pendidikan akhlak dalam pesantren yang sangat kuat pula termasuk dalam kategori ritus , bilamana santri dibekali dengan ilmu adab, yakni adab pada sesama teman, ustadz-ustadzah, kyai wa akhlul bait, dan masyarakat.

Santri wajib tawadhu’ salah satunya dengan berjalan menunduk ketika melewati ndalem (rumah kyai), wajib berbicara dengan bahasa yang halus, santri khidmah kepada kyai dsb. Hal-hal ini dilakukan secara terus menerus selama menjadi santri dan bahkan setelah menjadi alumnipun tetap harus menerapkan beberapa hal-hal tersebut. Hal ini di yakini bahwa penghormatan pada kyai merupakan suatu cerminan dari etika yang menunjukan bahwasanya santri telah memiliki ilmu yang bermanfaat. Sehingga terdapat banyak sekali anjuran moralitas yang menunjukan nilai atau kepatuhan pada kyai. Salah satunya adalah yang terdapat dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim karya al-Zarnuji yang menyatakan bahwa syarat orang memperoleh ilmu yang bermanfaat adalah dengan menghormati guru dan memuliakan kitab.

Salah satu pendapat Durkheim mengenai ritus ialah dapat berpotensi memunculkan mitos, hal ini digambarkan pula dalam pendidikan pesantren, yakni ketika santri tidak patuh pada aturan kyai, maka diyakini bahwa santri tersebut nantinya tidak akan mendapat ilmu yang bermanfaat / barokah dan tidak mendapat ridho dari kyai tersebut. Hal ini dikarenakan kepercayaan santri dan masyarakat setempat bahwasanya setiap kyai itu memiliki karomah atau keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

  • Solidarity (Solidaritas)

Eksisitensi pesantren yang di dirikan dan dibina oleh para kyai, mengakibatkan kemunculan beberapa kelompok, sepertihalnya kelompok santri, ataupun pengajar (ustadz dan ustadzah). keberadaan kelompok-kelompok tersebut menciptakan solidaritas yakni rasa saling percaya dalam setiap kelompok. Adapun solidaritas santri sendiri akan membentuk suatu persatuan yang erat antara individu dengan individu melalui kegiatan-kegiatan pesantren. selain itu solidaritas yang lebih erat pula ditemukan dari santri-santri yang sudah lulus namun tetap khidmah pada kyai yakni dibuktikan dengan membentuk grup-grup alumni, sesuai angkatan kelulusan masing-masing. Hal ini memiliki tujuan yang tak lain yaitu agar tetap dapat menyambung tali persaudaraan baik pada sesama teman santri  ataupun agar tetap tersambung sanad keilmuannya pada sang kyai.

Dengan analisa-analisa tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya kyai merupakan pemegang peranan tertinggi dalam pesantren sehingga keberadaannya dianggap sakral. Terlepas dari itu, sebagian masyarakat ada yang kurang setuju dengan eksistensi kyai dan sistem ataupun struktur-struktur dalam pesantren. Sebab sistem pembelajaran yang diterapkan dalam sebagian besar pesantren dianggap sebagai pembelajaran yang ketinggalan zaman dengan menerapkan metode pengajaran yang masih sederhana, sehingga santri hanya lebih fokus pada ilmu agama saja. Tanpa tahu menahu perihal serba-serbi globalisasi lainnya.

Sebenarnya problem metodelogi dalam sistem pembelajaran pesantren yang dianggap ketinggalan zaman ini dapat diatasi dengan pembelajaran yang lebih sistematis dan logis. metode penyajian materi yang masih tradisional, nantinya  dikembangkan dengan beberapa metode yang lebih baik, seperti metode diskusi, resitasi, dan problem solving. Namun untuk struktur dalam pesantren dimana kyai adalah yang paling tertinggi, eksistensinya dianggap sakral, sehingga mendapat perlakuan hormat yang dianggap sebagai problem oleh sebagian pihak, tidaklah dapat diselesaikan. Sebab hal seperti ini justru merupakan sesuatu yang dibenarkan dalam pendidikan pesantren, dimana pendidikan akhlak yang salah satunya ditandai dengan perilaku menyikapi kyai dengan mengagungkannya, dan bersikap sangat hormat adalah cerminan bahwasanya seorang santri sudah memiliki ilmu yang bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

rinduku masih milikmu

Surabaya punya cerita "deskripsi vlog keseruanku di Surabaya"

MIMPI BESAR DARI ORANG KECIL "kisah inspiratif "